Leon Mann, Queue Culture: The Waiting Line as a Social System
The American Journal of Sociology, Vol. 75, No. 3 (Nov., 1969)
Antrian bisa kita temui di mana-mana. Di ATM, di loket stasiun kereta atau bioskop, di kemacetan jalan, di kasir super market, di agen minyak tanah, di foodcourt saat lunch time... Pada umumnya orang antri karena punya kepentingan/kebutuhan yang sama pada saat yang bersamaan pula.
Bicara soal antri mengantri ini, banyak yang bilang orang Indonesia tidak punya budaya antri. Kalau kita search kata antri di google, akan kita temui banyak tulisan orang yang kesal dengan oknum-oknum yang tidak punya budaya antri, yang suka motong atau nyelak antrian ini. Bahkan ada sebuah blog khusus yang mengumpulkan tulisan tentang antri-mengantri ini.
Sebulan lalu, tepatnya Sabtu 2 Februari 2008, ada antrian di Sekolah Alam. Sederetan ortu calon siswa duduk dalam antrian di bawah tenda yang terpasang di depan gerbang bambu Sekolah Alam. Mereka antri untuk beli formulir pendaftaran, dan ternyata di antaranya ada yang datang pukul 02.30 dinihari, padahal Panitia Penerimaan Siswa Baru (PPSB) baru buka konter penjualan formulir pukul 07.30. Kenapa harus datang sedini hari itu? Mungkin karena takut tidak kebagian formulir. Formulir yang disediakan panitia memang tidak banyak, karena kuota siswa baru juga sedikit. Kalau tempat yang tersedia untuk 10 siswa baru, maka yang bisa beli formulir hanya 13-15 orang. Padahal kalo sekolah mau cari duit, bisa jual formulir sebanyak peminat. Tapi itu kan artinya akan makin banyak yang berharap dan makin banyak yang bakal kecewa jika akhirnya tidak dapat tempat.
Di antara pengantri pagi itu, banyak juga wajah-wajah lama. Bahkan Ketua Yayasan, juga ngantri. Dalam penerimaan siswa baru, di Sekolah Alam memang tidak ada pengecualian untuk orangtua. Pengecualian hanya diberikan kepada anak guru, karena sesuai kebijaksanaan sejak awal berdirinya Sekolah Alam, setiap guru Sekolah Alam punya hak menyekolahkan anaknya tanpa dikenakan biaya-biaya pendidikan, sebagai imbalan dari kerja keras mereka mendidik puluhan anak lain.
Salah satu ortu lama yangterlihat pagi itu adalah Pak Teguh Iman Perdana (penulis buku Ngefriend sama Islam), yang juga adalah Sekretaris I Yayasan Alamku (Sekedar info: Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan Alamku adalah orangtua dan guru dalam komposisi berimbang yang mencerminkan kepemilikan bersama atas sekolah ini ... dan tak satu pun dari mereka yang mendapatkan keuntungan secara finansial, maupun privilege lain dengan duduk di Yayasan... buktinya mau beli formulir pendaftaran harus antri juga seperti yang lain). Beliau menuliskan pengalamannya antri pagi itu di IFSA (buletin Sekolah Alam). Atas izin Pak Teguh tulisan tersebut saya posting di sini.
Hanya sekedar ungkapan perasaan saja, melihat sejak pagi buta, beberapa orang tua murid sudah kasak-kusuk menyusun antrean, di Ciganjur yang dingin usai Jakarta ditimpa hujan semalaman yang mengubahnya menjadi kolam raksasa seperti biasa. Saat muadzin di kejauhan berseru-seru mendayu
"ash sholaatu khoirum minannauumm...",
belasan kursi antrian yang tersedia, sudah mulai dipenuhi calon orang tua murid. Apakah ini pemandangan antrian mengambil kesempatan beasiswa gratis Uni Eropa atau Amerika Serikat? Orang luar yang diberi tahu pasti akan mengernyitkan keningnya: ini pendaftaran sekolah untuk anak sekolah usia sekolah dasar!
(... dan TK! ... dan PG!)
Begitulah, antrian bahkan telah terpenuhi saat Buletin Pagi RCTI mulai mengudara. Rapi dan tertib, persis seperti warga negara Amerika Serikat menghadapi pemilu. Saya bergumam, kalau saja seorang pengamat pemilu internasional lewat disini, sepintas dia pasti akan menahan napas saking kagumnya. Emosinya bakal membuncah, dan jangan-jangan air matanya diam-diam menetes. Dia pikir, inilah sikap demokratis warga negara Indonesia kelas menengah perkotaan, yang begitu antusias menunggu giliran pencoblosan. Salah besar! Kami sedang mengantri untuk masa depan anak-anak kami!
Begitulah fenomena Sekolah Alam yang kembali mengusik relung hati sekian banyak orang. Pemandangan aneh ini ternyata bukan sekarang ini saja, tapi konon sudah terjadi sejak tahun lalu. Lebih lucu lagi, disaat sekolah lain sibuk merayu calon murid baru dengan berbagai spanduk yang mirip perang diskon terbuka antar departemen store itu, SA justru "mati-matian" tidak melakukan promosi apa pun untuk penerimaan murid barunya. "Kalau diumumkan, yang ada orang akan marah, karena kapasitas kita terlalu sedikit, sementara peminatnya, ya...bapak lihat sendiri" jelas pak Abdul Rahman sambil tersenyum. Ini jelas bukan senyum ahli marketing, karena ketua penerimaan murid baru SA itu jelas bukan sedang berpromosi.
Apa arti semua ini? Buat kami, orang tua dari 4 anak yang kembali mendaftarkankan putra ketiganya meski dua anak telah diterima (dan satu anak bahkan telah kembali padaNYA dengan "predikat membahagiakan" sebagai alumni SA), inilah wujud keyakinan kami terhadap kualitas Sekolah Alam. Ada keyakinan dan kepercayaan yang sulit difahami, dan diukur dengan kata-kata, tapi hasilnya nyata, yang mendorong kami kembali mendaftarkan si kecil Mumtaz mengikuti jejak kedua kakaknya: Tisa (kini duduk di SL 8) dan Syifa (terakhir, almarhumah duduk di kelas 4).
Keyakinan yang tak terbahasakan, tapi terbuktikan
(Oh, ini jadi mirip slogan Toyota ya?)
Ah, adzan Maghrib telah terdengar saat laporan ini saya tulis. Semua kisah di atas menyiratkan pesan, bahwa tugas mempertahankan amanah dan kepercayaan ini, justru tengah menghadang. Semoga Allah SWT menjaga dan melindungi segenap civitas komunitas SA menuju keridhaanNYA. Aamiin.
walaupun ortu harus datang pagi-pagi buta untuk ambil formulir.
Mgkn bisa didiskusikan alternatif/cara supaya ortu tidak perlu
datang sepagi ini.
Adil & rapi. Ok.
Pada dasarnya sistem sudah berjalan dengan baik
dan juga petugasnya informatif & komunikatif.
Ada satu adat yang harus tetap dipertahankan.
Tentang nomor urut, yang menurut saya
bisa jadi brand market Sekolah Alam.
Nomor urut daftar yang membuat orang tua murid datang
sebelum subuh pada hari pendaftaran ini hanya ada di sekolah ini.
melatih diri untuk selalu siap menghadapi tantangan dll.
Saran saya mohon proses seperti ini dipertahankan!!!
Jazakumullah khairan jazaa.
lebih menunjukkan profesionalitas sistem pendidikan.
Untuk sistem kuota, saya sarankan mungkin lebih diperbesar
jumlah siswa, karena minat para ortu sangat besar.
- u/ pembayaran & pengambilan formulir
tdk perlu menunggu kursi penuh
- tenda dilengkapi penerangan -> bisa baca sambil menunggu
- kursi tunggu diberi nomor
Pujian:
- tepat waktu
- manusiawi (ada tenda, kursi, dan snack)
tidak perlu menunggu lama hanya untuk mengambil formulir.
Tolong untuk selanjutnya dibuat simple, efisien, dan praktis.
Kalau lebih pagi, bukannya nanti pada datang sejak midnight?
... atau bahkan jadi kemping seperti yang mau nonton konser?
-> Karena semua sudah tahu antriannya dari pagi
bahkan malam sebelumnya,
maka buka loketnya bisa lebih awal. misal pkl 06.00 Hehehe.
So far sdh bagus, tertib dan on time. Panitia juga kooperatif dan ramah2
Menurut Panitia, daftar hadir tidak disediakan dari awal karena khawatir ada yang datang untuk isi daftar hadir saja, lalu pulang dulu. Tapi ada ortu yang berinisiatif membuat daftar hadir supaya jelas urutan siapa yang hadir lebih dulu.
Dan panitia sudah siap hadir mendampingi para calon wali murid sejak pagi/subuh.
Saran : U/ yg akan datang ada tulisan (petunjuk u/ absen,
krn ada yang baru datang bingung ... langsung duduk.
Supaya peserta antrian tidak rebutan,
Yang sudah tulis nama di daftar antrian jika akan keluar antrian
mau sholat atau lainnya harus ijin Satpam
Ada Bubur Ayam dan Kacang Ijo
Ada lawak
Ada Api unggun (karena dingin)
hanya kursinya agak kurang banyak.
Antrinya tertib.
selama orang tua menunggu.
Saran : Pertahankan!! Kalo perlu sejak awal TV nya ditaruh di Pos Satpam.
Lumayan buat hiburan yang datang pagi-pagi buta :)
(dapat teman baru > sharing).
dan masih gelap mungkin?
Informasi mudah didapat baik melalui web
atau bertanya/nelpon langsung ke sekolah alam
Mohon untuk selanjutnya dipermudah lagi
rambu penunjuk sekolah dari jalan besar
agar mudah untuk mencarinya,
karena banyak yang kesulitan mencarinya.
Arahan tentang syarat diterima atau tidak,
apakah bila mendapatkan formulir (tidak waiting list) pasti masuk?
sangat tertib dan bagus.
Tidak membeda-bedakan pada para calon siswa
(tidak ada istilah orang dalam).
Bravo...
EVALUASI
Untuk sistim pendaftaran yg seperti tadi (antri) memang baik,
akan tetapi apakah bisa diberlakukan bagi wali murid yang sebelumnya
telah menyekolahkan anaknya lebih dulu di sini
mendapatkan kebijaksanaan
atau katakanlah kemudahan untuk mendaftar.
Dalam artian prioritas dapat diterima di sekolah ini tanpa
proses yang berbelit-belit (seperti mendaftarkan anak-anak dulu).
Kami katakan ini krn kami percaya bahwa sekolah ini
tepat & baik bagi anak kami.
Apalagi didasari keinginan anak manakala menjemput kakaknya
sekolah di sini & selalu ribut minta di sekolahkan di sini TKnya.
Satu hal lagi, kami kaget
karena yang mendaftar mulai datang jam 3 pagi.
(Panitia juga kaget tuh...)
Ada yang usul antrian dipisah per level. Good idea nih... jadi yang sudah tahu bakal tidak kebagian formulir lagi, bisa isi daftar waiting list dan langsung pulang ya...
Antrian dipisahkan per level kelas,
sehingga tahu jumlah yang sudah ngantri.
lagi antri cuci tangan menjelang snack time.
Budaya antri memang harus ditanamkan sejak dini.
Dimulai dengan teladan dari kita sebagai orangtua, tentunya...
1 comment:
Pro dan kontra, setuju atau tidak setuju, agree or disagree...itu kan yang bikin seru komunitas ini..
That's our adrenaline spirit, all ups and downs:)
sekolah alam, heart and soul, always!
Post a Comment