August 07, 2007

Cerita Kontener Bekas


Keterbatasan dana pembangunan
(kayu mahal banget sekarang euy...),
plus kebutuhan ruang tertutup dan ber-ac untuk lab komputer,
plus terinspirasi sekolah gerbong kereta-nya Totto Chan,
plus semangat Sekolah Alam untuk selalu memanfaatkan barang bekas...
jadilah lima kontener bekas pengangkut flammable liquid dari Jepang
didatangkan ke Kampus SA Rawakopi pada 7Juli 2007 tengah malam hingga subuh.



Yang ikut nungguin proses delivery
dari jam 11 malam hingga subuh ...

dari kiri ke kanan:
Pak Jofi sang arsitek/ortu,
Pak Abdul -guru kelas 8/Wakil Ket. Yayasan,
Pak Firdaus - admin SA
Pak Yoga - Ketua Yayasan/ortu
Pak Romy - Wakil Bendahara Yayasan/ortu


Pembangunannya seperti biasa mengerahkan komunitas
Pak Jofi - abinya Rara yang membuat gambarnya,
dan Pak Nanang-Bu Endang ortu Dini sebagai kontraktornya.

Pasukan malam-subuh...
Pak Firdaus, Pak Yoga, Pak Abdul, Pak Romy,
plus pasangan ortu yang kontraktor Pak Nanang-Bu Endang
... Project Manager-nya yang motret :)

Ide penggunaan kontener bekas ini sudah muncul sejak 4 tahun lalu,
saat Komunitas SA sedang merancang Sekolah Lanjutan.
Bahkan pernah ada ide untuk menggunakan bus tingkat...


Di Kampus SA Ciganjur sendiri inisiatif menggunakan kontener bekas ini
sudah dimulai lebih dulu oleh Pak Bangir, ayah Ghani
dibantu beberapa ortu berlatarbelakang IT,
untuk lab komputer dan hotspot yang memungkinkan
para siswa & guru menikmati internet gratis.






Proses peletakkan 2 kontener atas yang cukup menguji kesabaran :)
... makan waktu dari pagi sampai menjelang maghrib

Bu Endang ikut naik forklift ... bisa senyum lebar lagi
setelah sebelumnya sempat tegang karena forklift-nya bocor
saat plat baja yang jadi pijakan nyangkut di bagian mesin.

Untuk yang di Kampus Rawakopi,
selain untuk ruang komputer dan multimedia,
bangunan 2 tingkat ini juga akan jadi ruang guru,
lengkap dengan dapur dan kamar kecil-nya,
plus ruang P3K/UKS, dan ruang peminatan.


Serba bekas ... Besi-baja bekas, kusen jendela bekas
rencananya lantai bakal dibuat mosaik dari pecahan keramik sisa

Lantai atas yang terbuka bisa jadi ruang serbaguna
untuk rapat guru, maupun untuk sholat berjamaah.
Satu kontener lagi yang disisipkan di balik pohon rambutan
akan digunakan untuk rumah penjaga sekolah dan resource room.


Moga-moga dalam seminggu (pertengahan Agustus) ini
sudah bisa digunakan.

Satu lagi hasil kerja komunitas Sekolah Alam...
satu bukti lagi bahwa keterlibatan komunitas
membuat segalanya jadi mungkin.
Alhamdulillahirobbil'alamin.


Foto-foto lainnya bisa dilihat di sini

June 11, 2007

Cerita Internet Gratis

Ada yang menyangka Sekolah Alam itu sekolah informal,
kegiatan tambahan untuk sekolah formal...
Ada yang berpikir Sekolah Alam itu seperti pesantren,
karena belajarnya lesehan di saung
yang seperti rumah panggung di kampung
Ada yang mengira di Sekolah Alam
anak-anak cuma belajar tentang alam,
dan bagaimana survive di alam.
Ada yang menyangka anak Sekolah Alam
tak pernah bersentuhan dengan teknologi,
tak kenal yang namanya komputer ...
apalagi dengan yang namanya internet.

28 Mei 2007, di Sekolah Alam
ada workshop tentang internet gratis buat sekolah.
Pembicaranya Aldan, Luthfi, dan Fachri -
3 siswa Sekolah Lanjutan SA
yang juara III di Ajang Kompetisi Robotik 2007
tingkat SMP di Plenary Hall - Jakarta Convention Center
3 Maret 2007 lalu.



Acara in di-cover berbagai media cetak
(Warta Kota, Republika, Kompas, Koran Tempo, dll)
dan media elektronik
(Global TV, SCTV, Trans TV, TPI , ANTV
dan Radio Female).

Sayangnya Kang Onno Purbo yang rencananya bakal jadi
pembahas ahli, tidak bisa hadir karena sakit.

Program Internet Gratis untuk guru dan siswa
di Sekolah Alam ini adalah hasil kerja komunitas Sekolah Alam.
Penggagasnya adalah Pak Bambang Irawan
(ayah Fadhlan, Ghani, Syana, dan Syilmi).
Insya Allah, dengan adanya PerkaSA Net ini
(PerkaSA= Perhimpunan Komunitas Sekolah Alam)
masyarakat dalam radius 5 km dari Sekolah Alam Ciganjur
juga akan bisa menikmati internet murah nantinya.
Ada yang berminat?

Yang dibutuhkan cuma seperangkat komputer
dan wajanbolic, antena parabola dari wajan
(bisa wajan bekas lho...).



Yang butuh wajanbolic,
bisa pesan ke Aldan-Luthfi-Fachri.
(melalui saya boleh .. he-he...)

Foto-foto lainnya bisa di lihat di sini


April 28, 2007

Cerita Pak Pos Cilik

Masih ingat lagu dari masa kecil ini?

Aku tukang Pos, rajin sekali ...
surat kubawa naik sepeda
siapa saja aku datangi
tidak kupilih, miskin dan kaya
kring.. kring... Pos!

Anak-anak sekarang, bahkan guru-gurunya di TK
mungkin gak pernah dengar lagu ini.
Lagu ini memang lagu jaduuuuul banget...
lagu jaman aku TK, puluhan tahun yang lalu :)

Aku tiba-tiba teringat lagu ini ketika melihat anak-anak TK B
buka Kantor Pos di halaman Sekolah Alam,
Kamis (TK B Bintang) dan Jumat (TK B Bulan) lalu.



Rupanya tema pelajaran mereka kali ini adalah Komunikasi.
Selain belajar tentang telepon-menelepon,
mereka juga belajar tentang surat-menyurat.


Mulai dari membuat surat (suratnya berupa gambar),
hingga bagaimana perjalanan surat itu sampai ke si penerima surat.
Maka dibukalah Kantor Pos a la anak Tekabe.


Ada yang bertugas menjual amplop dan perangko
buatan sendiri dari kertas bekas pakai
seharga 500 rupiah.


Ada yang bertugas mengambil surat dari Kotak Pos.


Ada yang bertugas jadi tukang cap.


Ada yang jadi tukang sortir...


... dan sisanya jadi Pak Pos Cilik


yang bertugas menyampaikan surat ke alamat tujuan.


Konsumennya?
Kakak-kakak kelas
Kepala Sekolah
Pak Guru & Bu Guru...
sampai orang tua murid.






Melihat para petugas Pos Cilik
yang sibuk bekerja penuh semangat itu,

sambil senyum-senyum Pak Yoga berkomentar :

"Calon-calon pesaingnya DHL dan Fedex tuh..."
Amiiiin...

Foto-foto selengkapnya bisa di lihat di sini.


March 20, 2007

Cerita Peneliti Cilik

Tema pembelajaran di TKB Bintang, kelas Rafi,
awal semester ini adalah Wild Animal.
Hal itu saya ketahui dalam pertemuan kelas yang rutin dilakukan pada setiap awal semester, di mana guru memaparkan lesson plan satu semester, dan orang tua memberi berbagai masukan dan usulan untuk memaksimalkan capaian hasil pembelajaran anak.

Suatu hari dalam perjalanan pulang,
Rafi menyanyikan sebuah lagu berbahasa Inggris tentang binatang:

Brown bear, brown bear what do you see?
I see a funny monkey looking at me
Funny monkey, funny monkey what do you see?
I see a hungry tiger looking at me
Hungry tiger, hungry tiger what do you see?
I see a black snake looking at me
Black snake, black snake what do you see?
I see a little bird looking at me
Little bird, little bird what do you see?
I see a tall giraffe looking at me
... dst.

Lagu tersebut jadi makin panjang,
karena Rafi terus menambahkan dengan binatang-binatang lain ...
green lizzard, pink flamingo, big hippo, ... sampai scary t-rex :)

Besoknya, di rumah Rafi tiba-tiba nanya:
"Ma, wild itu artinya apa sih... Liar apa buas?"
Setelah saya jawab artinya liar, bukan buas, ...dia menyimpulkan:
"O.. jadi wild animal itu binatang liar, bukan binatang buas ya Ma..."
Nah lho...
Akhirnya saya jelaskan panjang lebar dengan memberi contoh,
bahwa binatang liar itu ada yang buas dan tidak buas.
Saya jelaskan juga bedanya binatang liar dengan binatang peliharaan.
Dan bahwa binatang peliharaan pun ada yang buas ada yang tidak.

Besoknya lagi, dia cerita : "Ma, di sekolah, kakak-kakak kelas paling banyak suka wild animal-nya lion dan crocodile." Setelah saya gali lebih jauh, ternyata hari itu dia dan teman-teman sekelasnya melakukan survey. Berbekal worksheet yang disediakan gurunya, berupa kertas dengan gambar-gambar binatang liar, Rafi dan teman-teman bertanya ke kakak-kakak kelas, binatang liar apa yang mereka sukai. Karena belum bisa menuliskan jawaban kakak-kakaknya, mereka cukup membuat tally di bawah gambar binatang yang dipilih sang kakak kelas.

Beberapa hari kemudian, dekat playground,
di bawah pohon kersen (cherry.. kalo kata anak-anak)
terpampang grafik besar hasil survey anak TK B.
Kakak-kakak dan adik-adik kelasnya pun bisa melihat hasil survey Rafi dan teman-temannya.


Tradisi ilmiah sejak dini,
...itulah yang ingin ditumbuhkan pada anak-anak di Sekolah Alam.


Memupuk rasa ingin tahu, mengembangkan daya pikir, ... mengamati, menganalisa, hingga mengambil kesimpulan dari hal-hal sederhana yang terjadi di sekitarnya, di kesehariannya. Dan hal ini sudah dilakukan bahkan sejak mereka duduk di bangku Pre School.

Kegiatan outing, atau kunjungan lapangan merupakan hal yang rutin di Sekolah Alam. Hampir setiap pekan ada saja kelas yang outing. Mulai dari yang dekat-dekat, seperti ke pasar tradisional, peternakan sapi, pabrik tahu, penggilingan beras, pembenihan ikan hias, museum transportasi, ke klinik gigi, ... untuk anak-anak pre school, ... sampai yang jauh dan perlu menginap seperti ke pulau pari, pulau pramuka atau ke anyer, untuk belajar tentang biota laut, ... ke pengalengan, ke kamojang untuk SD ... Bahkan sampai yang berupa ekspedisi seperti ke ujung kulon (permukaan bumi), ke Jogja (sejarah perjuangan kemerdekaan), ke medan (jejak budaya batak), ke Bali (permukaan bumi) untuk anak-anak SD kelas 5 ... dan keliling Jawa - Unravel History Travel (sejarah masuknya agama-agama) untuk anak SL.




Egi siswa kelas 6, sedang melakukan percobaan,
mengukur tegangan permukaan air

Di Sekolah Alam, setiap siswa kelas 6 SD wajib membuat sebuah penelitian ilmiah dan menyusun laporan penelitian sebagai salah satu syarat kelulusan. Tugas penelitian ini diberikan pada semester ganjil, sebelum mereka sibuk mempersiapkan diri menghadapi ujian di semester genap. Seperti halnya mahasiswa yang sedang menyusun tugas akhir dengan bantuan dosen pembimbing, anak-anak di Sekolah Alam melakukan penelitian dibantu seorang guru pembimbing. Mulai dari dari memilih topik penelitian sesuai dengan subyek yang mereka minati, sampai membuat laporan hasil penelitian.

Hasil penelitian
mereka kemudian dipresentasikan di depan teman-teman sekelas, kakak dan adik kelas, orang tua, serta guru-gurunya.Di bawah ini beberapa judul penelitian mereka, yang saya dapatkan dari dokumentasi Laporan Karya Ilmiah Siswa di perpustakaan Sekolah Alam dan beberapa materi presentasi yang mereka buat dalam bentuk PowerPoint. Umumnya pemaparan hasil penelitian mereka disampaikan dengan bahasa sederhana ... namun beberapa di antaranya ditulis dan dipresentasikan dalam bahasa Inggris!

dari daya serap tanah sampai kebiasaan main PS2...

... dari efek softdrink sampai tanaman anti nyamuk

dari doraemon sampai liga inggris...

Seorang teman dari dunia maya yang sekarang mengajar di negeri jiran, mempertanyakan Kemana Penelitian Anak Bangsa?
... saya pun jadi teringat tulisan Pak Anis Matta

... Sekolah semacam itu biasanya melahirkan anak-anak pintar, bukan pembelajar apalagi ilmuwan. Mereka mempunyai prestasi belajar yang baik. Tapi tidak memiliki tradisi ilmiah yang kokoh. Kalau kelak mereka mendapatkan gelar doctor, prestasinya pasti summa cum laude. Tapi disertasi doktornya mungkin merupakan karya ilmiahnya yang pertama dan terakhir. Secara intelektual mereka mengalami diskontinyu. Mereka mungkin menduduki banyak jabatan akademik yang terhormat. Tapi tidak akan pernah punya waktu dan perhatian untuk menggarap karya ilmiah yang monumental.


Dan saya jadi malu sendiri...
dulu saya pun melakukan penelitian hanya untuk bisa lulus dan dapat gelar sarjana :(

Semoga tradisi ilmiah yang coba ditumbuhkan sejak dini pada anak-anak Sekolah Alam oleh para gurunya, kelak bisa memunculkan generasi peneliti dan penemu dengan dorongan berkarya yang konstan seperti apa yang dikatakan Pak Anis Matta dalam uraiannya tentang beda tradisi ilmiah dengan prestasi belajar:

Ada beda yang teramat jauh antara tradisi ilmiah dan prestasi belajar. Prestasi belajar yang biasanya diukur secara kuantitatif melalui ujian, bukanlah indikator terbentuknya tradisi ilmiah. Tradisi ilmiah diukur melalui sikap seseorang terhadap pembelajaran, pengembangan intelektual berkesinambungan, penggunaan cara berpikir ilmiah dalam penyelesaian masalah, pembentukan keterampilan intelektual seperti bahasa oral dan tulisan, aktualisasi intelektual berkesinambungan, dorongan berkarya yang konstan.

Dan semoga hasil penelitian-penelitian mereka kelak tidak hanya menumpuk di perpustakaan kampus dan tidak terhenti hanya sampai di situ, tapi benar-benar bisa diaplikasikan dan dimanfaatkan untuk kebaikan bangsa dan kemaslahatan seluruh ummat manusia. Amin.

Update :
Baca juga komentar-komentar terhadap cerita ini di multiply

March 13, 2007

Cerita Sekolah Kehidupan


Tulisan di bawah dibuat oleh Pak Anis Matta sebagai Kata Pengantar dari Buku Sekolah Impian. Saya posting di sini atas izin Ibu Anaway, istri beliau. Saat ini ada 3 putri dan 2 putra mereka yang dari Senin sampai Jumat pergi-pulang dari tempat tinggal mereka di kawasan Utan Kayu,Rawamangun - Jakarta Timur ke Sekolah Alam di Ciganjur - Jakarta Selatan.


SEKOLAH KEHIDUPAN

Sumber Kegembiraan

Mereka benar-benar hidup. Mereka masih terus berbincang dan bersenda gurau dalam perjalanan pulang ke rumah. Sehari penuh di sekolah seakan tidak melelahkan mereka. Atau mungkin - tepatnya - lelah tidak menghilangkan gairah mereka. Itu pemandangan sehari-hari dari keempat anak-anak saya dan ketiga temannya yang sama-sama bersekolah di Sekolah Alam. Padahal, karena jarak rumah dan sekolah yang jauh -sekitar 40 km - mereka harus menghabiskan 10 sampai 12 jam setiap harinya untuk belajar dan perjalanan.

Sekolah telah menjadi pusat kehidupan mereka saat ini. Mereka benar-benar menikmati pusat kehidupan itu. Bahkan waktu-waktu mereka di rumah pun digunakan untuk membicarakan kehidupan mereka di sekolah. Sekolah bukan lagi beban. Sekolah adalah realitas kehidupan yang mereka jalani dengan penghayatan penuh. Sekolah adalah sumber kegembiraan. Bukan sumber stress yang biasanya membuat mereka kehilangan gairah.

Disini kehidupan dihadirkan dalam sebuah tata ruang dengan lansekap yang ditata sedemikian rupa agar tetap natural dan tampak riil. Dengan menggunakan konsep fun learning, Sekolah Alam telah mengubah sekolah menjadi sebuah miniatur kehidupan yang bukan saja natural dan riil, tapi juga indah dan nyaman. Proses belajar mengajar berubah menjadi aktivitas kehidupan riil yang dihayati dengan penuh kegembiraan. Itu membantu anak-anak menikmati masa-masa awal pertumbuhan, dan membangun imaji-imaji positif tentang kehidupan dan bumi yang mereka huni.

Itu pesona pertama yang mengantar saya ke Sekolah Alam!!!

Persepsi kita tentang kehidupan, tentang dunia, tentang bumi yang kita huni, yang kelak melandasi sikap-sikap kita dalam menjalani hidup, sesungguhnya terbentuk di masa awal pertumbuhan itu. Seperti apa kita mempersepsi kehidupan, dunia dan bumi yang kita huni pada awal kehidupan kita, seperti itulah kita akan menjalaninya. Imaji-imaji positif akan melahirkan energi, semangat dan gairah kehidupan. Begitu juga sebaliknya. Maka setiap "luka persepsi" pada masa itu, kelak akan mewariskan "luka emosi" dalam kehidupan kita. Dan setiap luka emosi, kelak akan mewariskan "gangguan pensikapan" dalam keseluruhan kepribadian kita. Itu sebabnya anak-anak yang bahagia di masa kecil jauh lebih berpeluang untuk berbahagia di masa dewasa dan tuanya kelak.

Saya hanya ingin anak-anak saya menikmati masa-masa awal "perkenalan" mereka dengan kehidupan, dunia dan bumi yang mereka huni. Mereka tidak dilahirkan untuk memikul obsesi-obsesi saya sebagai orang tua. Mereka dilahirkan untuk kehidupan mereka sendiri. Tugas saya adalah memfasilitasi mereka untuk mengenal dunia dan kehidupan dimana mereka ditakdirkan menjalaninya. Walaupun mungkin saja mereka mendahului saya menemui ajal, tapi pada galibnya sayalah yang akan mendahului mereka. Jadi rasanya saya tidak akan menyertai mereka dalam keseluruhan waktu yang akan mereka lalui di dunia. Maka biarlah kuantar mereka sampai ke gerbang kehidupan, dan kukatakan pada mereka: "Inilah kehidupan yang dikaruniakan Allah kepadamu, wahai anak-anakku. Kalian hanya harus mensyukurinya. Dan itulah alasan mengapa kalian harus gembira menjalaninya".

Belajar Untuk Menjadi

Dalam miniatur kehidupan yang natural dan riil seperti itu, anak-anak benar-benar dipandang sebagai manusia seutuhnya. Bukan sekedar robot cerdas - yang harus dijejali dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan - dimana jam-jam belajar merupakan saat-saat "pengisian" yang mengerikan. Ledakan informasi di abad ini barangkali membuat banyak orang panik. Sementara kehidupan yang telah berubah menjadi medan kompetisi yang kejam mendorong mereka berpikir, bahwa untuk bisa bertahan hidup anda harus mengetahui segalanya.

Begitulah sekolah-sekolah kita didirikan sebagai tempat menjajakan "barang-barang" yang bernama ilmu pengetahuan, yang harus "dimiliki" setiap orang agar bisa bertahan hidup. Maka kita mengagumi "kecerdasan". Karena itulah mata uang paling bergengsi yang digunakan membeli "barang-barang" tersebut. Dan belajar adalah proses transaksinya.

Di sekolah seperti itu anak-anak belajar "menguasai" pelajaran. Bukan menjadi sesuatu dengan pelajaran tersebut. Makin banyak pelajaran yang dapat mereka kuasai, makin baik transaksi mereka. Maka kita sekolah-sekolah berburu anak-anak cerdas, yang dapat melakukan banyak transaksi.

Tapi yang kemudian kita saksikan justru sebuah ironi. Anak-anak itu tidak mengalami transformasi pembelajaran. Pelajaran matematika, misalnya, tidak serta merta membuat mereka dapat berpikir logis. Pelajaran sejarah tidak memberi mereka kesadaran dan emosi akan identitas kolektif. Pelajaran bahasa bahkan tidak membantu mereka berbahasa dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.

Belajar adalah proses berubah secara konstan!!!

Pengetahuan bukan barang yang harus kita miliki. Pengetahuan adalah sebuah fungsi. Ia adalah cahaya yang menerangi ruang kesadaran batin kita. Seperti umumnya cahaya yang berpendar-pendar di tengah ruang gelap, kita hanya bisa bergerak secara baik dalam jengkal-jengkal ruang yang dibingkai cahaya. Sebagai sebuah fungsi kita harus mempelajari semua pengetahuan yang membantu kita berubah menjadi lebih baik. Belajar adalah proses menggunakan pengetahuan sebagai penuntun perjalanan mendekati kesempurnaan secara konstan. Belajar adalah proses menjadi secara konstan. Karena menjadi merupakan proses yang tidak pernah berakhir, maka belajar adalah satu-satunya proses kehidupan yang tidak pernah selesai.

Manusia adalah gabungan yang rumit antara ruh, emosi, akal dan fisik. Setiap aspek itu, kata Muhammad Quthub, seperti senar gitar yang harus dipetik bersama untuk melahirkan simfoni kepribadian yang utuh dan indah. Anak-anak bukan tabung besar yang harus diisi dengan pengetahuan. Mereka adalah senyawa kehidupan yang rumit dan kompleks. Mereka berubah, berbentuk dan bermetamorfosis melalui proses-proses yang juga kompleks, dimana pengetahuan hanyalah salah satu aspeknya.

Dalam konteks itu, maka semua pengetahuan yang mereka butuhkan untuk membangun kehidupan yang lebih baik harus mereka pelajari. Sebaliknya, semua pengetahuan yang tidak mempunyai fungsi spesifik dalam kehidupan riil mereka tidak perlu mereka pelajari. Jenis pengetahuan terakhir ini, kata Umar Bin Khattab, bukan aib untuk tidak diketahui. Itu sebabnya Rasulullah saw mengajarkan kita sebuah doa: "Ya Allah ajari kami apa yang bermanfaat bagi kami, dan beri kami manfaat dari ilmu yang telah Engkau ajarkan pada kami". Dengan begitu, pengetahuan bekerja dalam kehidupan mereka, sebagai sumber pencerahan hidup.

Begitulah saya menyaksikan anak-anak saya tumbuh dan berkembang, terus menerus berubah dan menjadi sesuatu yang lain, bersamaan dengan pertambahan usia sekolah mereka. Gabungan antara pelajaran kelas, latihan outbound, penelitian lapangan (outing), market day, dan lainnya, telah memberikan pemahaman dan kesadaran yang relatif lebih utuh tentang kehidupan, membentuk struktur emosi dan mentalitas yang lebih stabil, serta membangun sikap-sikap keseharian yang lebih tercerahkan dari waktu ke waktu.

Apa yang mereka pelajari di kelas terasa begitu dekat kehidupan sehari-hari mereka. Mereka, misalnya, belajar makna uang dan bagaimana menciptakannya melalui kegiatan market day. Suatu saat anak sulung saya, Hisan, yang kini duduk di kelas enam, mendapatkan untung sebesar 9000 rupiah dari hasil menjual juice dalam acara market day. Dia benar-benar merasa menang. "Sekarang", katanya, "Ican mulai tahu bagaimana caranya bikin uang".

Pembelajaran seperti itu tentu saja menghadirkan pengetahuan dalam kehidupan nyata mereka. Pengetahuan bekerja pada fungsinya: membimbing mereka menjalani hidup. Itu sebabnya setiap pertambahan pengetahuan melahirkan perubahan-perubahan baru dalam kehidupan mereka. Mereka menjadi lebih baik. Mereka menjadi lebih tercerahkan.



Tradisi Ilmiah, Bukan Prestasi Belajar

Sekolah bukanlah lapangan pacuan kuda!!!
Tapi ada sekolah yang dirancang sebagai lapangan pacuan kuda. Disana anak-anak dipacu untuk mengetahui lebih banyak. Bukan untuk menjadi sesuatu yang lebih baik. Tapi untuk mengalahkan orang lain. Kemajuan belajar diukur dengan capaian angka-angka. Bukan dengan perubahan-perubahan mendasar pada cara berpikir, struktur emosi dan pola sikap.

Di sekolah seperti itu kasta-kasta baru dibangun berdasarkan kecerdasan!!!

Barangkali tidak sepenuhnya salah untuk membagi murid-murid kedalam kelas-kelas berbeda berdasarkan tingkat kecerdasan. Yang salah adalah tren pembelajaran yang kita kembangkan. Secara tidak sadar sebenarnya sekolah semacam itu mengembangkan tren pembelajaran transaksional: anak-anak membayar mahal untuk mendapatkan guru terbaik, agar bisa menguasai semua pelajaran dan lulus dengan angka terbaik.

Sekolah semacam itu biasanya melahirkan anak-anak pintar, bukan pembelajar apalagi ilmuwan. Mereka mempunyai prestasi belajar yang baik. Tapi tidak memiliki tradisi ilmiah yang kokoh. Kalau kelak mereka mendapatkan gelar doctor, prestasinya pasti summa cum laude. Tapi disertasi doktornya mungkin merupakan karya ilmiahnya yang pertama dan terakhir. Secara intelektual mereka mengalami diskontinyu. Mereka mungkin menduduki banyak jabatan akademik yang terhormat. Tapi tidak akan pernah punya waktu dan perhatian untuk menggarap karya ilmiah yang monumental.

Ada beda yang teramat jauh antara tradisi ilmiah dan prestasi belajar. Prestasi belajar yang biasanya diukur secara kuantitatif melalui ujian, bukanlah indikator terbentuknya tradisi ilmiah. Tradisi ilmiah diukur melalui sikap seseorang terhadap pembelajaran, pengembangan intelektual berkesinambungan, penggunaan cara berpikir ilmiah dalam penyelesaian masalah, pembentukan keterampilan intelektual seperti bahasa oral dan tulisan, aktualisasi intelektual berkesinambungan, dorongan berkarya yang konstan.

Tren inilah yang hendak dibangun di Sekolah Alam. Sekolah ini menghapus sistem rangking, yang bukan saja memicu pembentukan kasta baru berdasarkan kecerdasan, tapi juga memandang potensi setiap siswa secara sama dan mengabaikan keunikan dan diferensiasi individual pada bakat, minat dan intelejensi. Disini siswa dipacu untuk tumbuh maksimal pada pusat keunggulan intelejensinya, yang menyatu bersama bakat dan minatnya. Tidak ada persaingan antar siswa yang dilakukan dengan standar yang sama. Sebab tujuan pembelajarannya membangun tradisi ilmiahnya, bukan sekedar memicu prestasi belajar. Siswa-siswa itu bukan peserta lomba pacuan kuda. Mereka dididik untuk menjadi pembelajar yang optimal dalam pembelajarannya.


Pendidikan Untuk Zaman Yang Berubah

Waktu adalah variabel lain. Persepsi kita tentang waktu mempengaruhi pola didik kita. Kita tidak mendidik anak-anak kita untuk hidup pada zaman yang telah kita lalui atau yang telah dilalui orang lain atau peradaban lain. Mereka memiliki zamannya sendiri. Pendidikan bertujuan menyiapkan mereka untuk menghadapi zaman mereka sendiri.

Anak-anak kita hidup pada sebuah zaman dimana pengetahuan berkembang pesat dan merubah sendi-sendi kehidupan kita secara fundamental dan sangat cepat. Durasi perubahan-perubahan besar dalam kehidupan kita berlangsung kilat, karena faktor-faktor perubahnya bekerja simultan dan cepat. Ini menimbulkan kegamangan dan disorientasi dalam dunia pendidikan.

Faktanya adalah kita tidak punya kendali atas zaman yang kelak akan dilalui anak-anak kita kelak. Kita tidak punya kendali atas perubahan-perubahan itu. Mungkin sekali kita bahkan sudah tidak ada ketika mereka mengalami perubahan-perubahan besar itu. Tapi adalah juga fakta bahwa semakin cepat dan sering suatu perubahan terjadi, semakin kita membutuhkan pegangan hidup yang bersifat permanen, yang tidak ikut berubah dalam perubahan-perubahan itu.

Jadi yang dibutuhkan anak-anak kita adalah pegangan permanen itu. Yaitu keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai agama. Agama mengajarkan mereka hakikat-hakikat besar dalam kehidupan mereka: tentang asal usul mereka, tentang tujuan hidup mereka, tentang nilai-nilai yang harus membimbing hidup mereka, tentang faktor-faktor permanen yang membentuk kualitas hidup mereka, yaitu penerimaan Allah, manfaat sosial dan pertumbuhan berkesinambungan.

Apabila mereka belajar tentang itu semua dengan benar, mereka tumbuh pada pusat kehidupan yang benar dan pasti. Tapi itu saja tidak cukup. Mereka juga membutuhkan beberapa keterampilan dasar yang diperlukan untuk bertahan dan bertumbuh pada semua situasi. Sebagiannya merupakan keterampilan intelektual, sebagiannya lagi merupakan keterampilan emosional, sebagiannya lagi merupakan keterampilan fisik.

Sisanya biarlah mereka yang memperlajarinya sendiri!!

Itu yang dikembangkan Sekolah Alam. Membangun kemampuan-kemampuan dasar pada anak yang membuatnya proaktif dan adaptif terhadap perubahan-perubahan lingkungan. Kemampuan berpikir logis misalnya. Jika seorang anak mampu berpikir logis, itu mungkin lebih penting ketimbang sekedar mendapatkan angka tinggi dalam pelajaran matematika. Sebab kemampuan itu yang memberika kekuatan "mencerna" masalah-masalah hidupnya. Begitu juga latihan outbound. Disini mereka melatih keberanian, kesabaran, keuletan, kerjasama tim, kepemimpinan. Latihan ini membangun struktur mentalitas mereka secara kuat yang membuat mereka tahan terhadap goncangan-goncangan hidup.


Eskperimen Yang Belum Selesai

Namun tetap saja perlu dicatat: Sekolah Alam adalah eksperimen yang belum selesai. Usia sekolah ini masih terlalu muda. Selain itu, jangan mengharap anak-anak kita jadi sempurna di usia 12 tahun ketika ia menamatkan sekolah dasarnya. Tapi itu memang tabiat dunia pendidikan: dunia eksperimentasi tanpa henti. Disanalah proses kreatifnya berlangsung. Karena lingkungan strategis terus berubah, maka eksperimen-eksperimennya perlu dikembangkan terus menerus.

Yang penting adalah apresiasi yang kita berikan terhadap setiap eksperimen baru. Dan buku (Sekolah Impian) yang sekarang hadir di hadapan pembaca ini adalah sebentuk apresiasi terhadap eksperimen yang belum selesai itu. Buku ini merupakan catatan kesan dari semua orang yang terlibat dalam eksperimen tersebut. Ada penginisiatif awal, pimpinan lembaga, guru dan orang tua murid. Dengan mengangkat berbagai aspek dari proses pembelajaran di Sekolah Alam, buku ini bertujuan mengangkat eksperimen-eksperimen pendidikan Sekolah Alam sebagai sebuah diskursus pendidikan.

Eksperimen-eksperimen itu tidak harus benar. Tapi pahala memulainya telah diraih, sekarang tinggal merebut pahala perbaikan dan penyempurnaannya. Apa yang penting dalam sebuah eksperimen bukanlah hasilnya. Tapi bibit yang ditanam dalam eksperimen itulah yang kelak akan berbuah: niat baik, kerja keras, obsesi kesempurnaan, kelapangan dada menerima kritik dan kerendahan hati merima pujian, tidak cepat puas dengan keberhasilan-keberhasilan kecil, serta anggapan yang tidak pernah hilang bahwa semua sukses dalam eksperimen ini semata-mata merupakan rahmat Allah, bukan karena kehebatan kita.

Semoga Allah menerima amal-amal kita, memaafkan kelalaian-kelalaian kita, dan menyempurnakan kekurangan-kekurangan kita. Semoga keterlibatan kita dalam dunia pendidikan ini, dalam posisi sebagai apapun, menjadi amal unggulan yang akan mengantar kita meraih ridha Allah dan surga-Nya kelak. Amin.

Jakarta, 22 September 2003

Anis Matta

February 27, 2007

Cerita Dream School



On our last vacation, we had a chance to try out a school that turned out to be my dream school. For 3 days a week Don was a guest student of Sekolah Alam (it means Nature School, I don’t think we need to translate a name but just so you can get a sense out of the name). I didn’t think it was going to be anything extraordinary or even close to any dream school. I just thought it was a very unique school.


Mesjid of the dream schoolSekolah Alam is basically a school in nature. There’s no concrete classroom. They do their learning in huts. Plus, they do a lot of their learning in nature, outside their classroom (hut), mingling with the trees, grass, ponds, sand, animals, getting dirty from the grass or dirt or water, running, jumping. No ordinary school. It’s my dream school.


Then I got to know their curriculum and way of teaching the children. It was so close to my homeschooling idea, it’s like a homeschool center where homeschooling parents send their children to learn together.

Why is it my dream school? Because their emphasis is on manners and learning, not grades. So there’s no test, no grades, no ranking. Children are assessed by everyday interaction with the teachers. Because the emphasis is not on grades, special students are also accommodated. There are autistic children there, ADHD, and even one with down syndrome !!

Furthermore, there’s a lot of hands-on and real life experiment. Since the school is like a big garden with grass and trees instead of concrete, it’s like a living laboratory. They learn math, science and everything else from their environment. Children learn in real life condition.


a garden shed in the dream school

Even though I have decided to go to the school before we arrive there, I still want to give Don a chance to choose a school for himself. So we went to a couple of different schools. Well, the others were conventional schools and Don loved the playground and the library. But he refused to go into the classroom.

At Sekolah Alam, however, he fell in love with the school right away. As soon as we step our feet in the schoolyard he asked

“Is this a school, Mom ?” (mind you, it doesn’t look like a school, it’s more like a garden).

“Yes, it’s a school.”

“Wow, I want to go to school here Mom. What are those, Mom ?” (he was pointing to some ropes hanging from tree to tree, and some structures on one of the tree).

“That’s a tree house. As for the ropes, I suppose they’re for some activities they might do, maybe something like a flying fox that you did last year ?”

“I want to do that !” (and he was jumping up and down in excitement).


treehouse in the dream schoolAfter that Don just loved it. He wanted to go to school everyday instead of just 3 days a week. Often he didn’t want to go home. He said “I’m not done. I’m still playing.” Oh that’s another thing, he never said he learn anything from school, he just play. Apparently all children in Sekolah Alam never thought of themselves as learning, they just play (of course this is for the younger children). Another reason why it's my dream school.

They are learning, of course, but they way of learning is just so much fun they don’t realize it. The young children going to Sekolah Alam are just like going to a play date. They play all day. But the teachers work hard to make that a learning opportunity for the children.

And how about the teachers ? You should see their eyes everytime they answer my question of why they like being a teacher there. Their eyes just lit and all of them said “It is just amazing !” Why wouldn’t it be ? It’s a dream school, not just for the children but for the teachers, too.

They have their own curriculum and they call it spider web, or theme based. Let’s say they’re learning about fish this week. So there’s math, language-art, science, and all other subject that they learn that week, all concerning fish. It’s very different to the conventional school and it’s working since whatever they’re learning, it’s real. It’s not just classroom theory.

They have a pond with fish in their school. They can count the fish, or the amount of food they might need to feed the fish. They can learn about different kind of fish there are in the pond. They can learn about fish life cycle. They can learn about what happens to the fish if they sell them. So there’s opportunity to learn math, language-art, natural and social science.


Children in the dream school

So it’s my dream school. It’s the closest thing I can find to my homeschooling ideas. It nurtures children’s love of learning. It accommodates different styles of learning. It even accommodates special need children (they have one special teacher for each special need student, isn’t that wonderful). They don’t have tests just for the sake of grades.

This is another thing I like about it. Teachers evaluate the children from everyday interaction. When it comes the time to do a test the teachers already know what each child is capable of. I saw a lot of teachers going back and forward to different students after a test and I asked them what’s going on.

They said nothing major. Apparently they’re marking the tests and there were some discrepancy. A student had left some questions blank and the teacher knew that the student can answer the question perfectly. The teachers knew that the student still had difficulty writing so the teacher went back to the student and encourage him to write it down.

Amazing, don’t you think ? Talk about nurturing the love of learning. You’re never penalized because you did badly on a test since the teacher already know how good or bad you are. You can concentrate on learning and not worry about passing a test. My dream school, indeed.

The tests that they do are mostly for formality, just so if the parents needed to move somewhere else, the students have school reports with grades on them, instead of smiley faces and writing.

Their reports are usually like that, filled with smiley and writing. It’s an assessment by the teachers. For example, this week they learn about the fish. The teachers would give smiley faces (ranges of smiley, from sad, to a smile, to a laugh) on whether the child still needs a lot of help, or need a little help, or is independent on the topic of fish. Oh I just love it.

Now since it’s Sekolah Alam, or Nature School if we translate it, there’s a lot of outing. I can’t remember how often they do it, but they do their outing either to a beach, a forest, a mountain, a home industry, a printing facility, a port, just about anywhere. And it’s not just an outing for fun, there’s a lot of learning involved.

When they go to a beach or forest or mountain, they learn about the place with its unique plants and animals. They learn about the local people and how they make a living. There is also the hiking, going to water falls, venturing into caves. They never forget to have fun.

Another fun activity that they do every 2 weeks is what they call Outbound. I’m not sure what the English word for it, but it’s basically a form of Physical Education. It’s a lot more challenging and fun than just running around a track and doing push ups or stretching.


Flying fox in dream schoolThe outbound activity would take up their whole day. They would start the day by doing stretching and warming up exercises. Again, it is so much more fun and not like anything I know before. They use songs, of course, and funny exercises to encourage the children to move about. The children love it. They’re always smiling or even laughing while doing it.

Then they would rest a little and get ready for The Outbound activity. I think I’m going to call it Obstacle course, for lack of a proper word. You walk across a rope bridge, glide down a rope, climb over a rope wall, walk across twin ropes, etc. (Oh I do hope you get what I’m trying to say).

It was just FUN !! It looks little terrifying considering how young the children can be but apparently they can do it alright. They love it and it’s perfectly safe. It's just like what I always dream of, my dream school, full of fun activities and challenges.


Flying fox in dream schoolSince Don was in the kindergarten and I was mostly observing the kindergarten and lower grade classes, all that I have written about involve the younger children. I think it’s a little different with the upper grades. I think with older children, you can expect that they know it is important to learn. So there’s not as much play and you can expect the children to already love learning.

There’s still the same format, like theme based curriculum and a lot of outings, hands-on and real life experiments. So it’s still is my dream school, except that the children are older. They realize that when there’s a test, you can’t always depend on the teacher to return to you if you did badly.


spider web in dream school

The upper grades are more academically challenging and I can’t write a lot about it since I don’t think I’d do them justice. But I can say it’s as fun as the lower classes. The one thing that impressed me most was that they have science project that each student has to do to pass to the next grade. It was just brilliant.

The project ranges from very simple (the effect of watching too much TV) to the very complicated (comparing different methods of making coconut virgin oil). But it is the effort of the students (and the teachers who help them) that impressed me the most. It’s just my dream school, I can’t say it enough. It’s academically challenging, yet you have the complete support from teachers and parents you need most to succeed.

It's not perfect, nothing is. But I can say it's my favorite, it's where I want to go if I was still a child. It's my dream school.

More information on Sekolah Alam, www.sekolahalam.org

February 18, 2007

Cerita Barongsay

Gong Xi Fa Chai.
(Moga-moga nulisnya gak salah ya...
ada yang tau artinya?)

Di Sekolah Alam pernah ada festival barongsay loh...
Foto-foto di bawah ini adalah bagian dari koleksi foto
kegiatan di Sekolah Alam,
saat si sulung duduk di kelas 4
(sekarang sudah kelas 7).
Acaranya bernama Snake Day,
merupakan project -nya guru-guru magang saat itu.

Menyelenggarakan kegiatan seperti ini
merupakan salah satu assignment bagi calon guru Sekolah Alam
untuk melihat kemampuan mereka bekerjasama dengan guru lain,
kepemimpinan, kreativitas, kemampuan mereka
mengelola project yang terkait dengan pembelajaran,
dan sebagainya.

Dalam acara Snake Day hari itu,
para guru magang menghadirkan
kakak-kakak yang senang bergaul dengan ular (pecinta ular)
untuk membuat anak-anak tidak takut dengan semua ular.
Untuk membuat anak-anak paham
bahwa tidak semua ular itu berbahaya.
Makhluk ciptaan Allah yang satu ini memang
sering disalahsikapi, karena tidak dipahami.
Memang benar kata pepatah lama,
tak kenal maka tak sayang.

Kepada anak-anak,
juga guru-guru dan orangtua yang hadir hari itu,
dijelaskan ciri-ciri ular berbisa dan tidak berbisa.
Juga dijelaskan langkah-langkah apa saja
yang harus dilakukan
jika tergigit ular berbisa.















Acara perkenalan dengan ular,
kemudian dilanjutkan dengan lomba barongsay antar kelas.
Masing-masing kelas menampilkan barongsay hasil
kreasi mereka sendiri.






Ada Barong'batik'say ...
















Ada barong-karpet-say...











Ada barong-karung goni-say...



Luthfi & teman-teman dengan 'Karung-say'-nya :)




Pemenangnya, Barong-batik-say'-nya kelas 5








Dan hari itu, keceriaan anak-anak pun ...




... menulari guru-gurunya!


Acara hari itu diakhiri dengan karnaval barongsay...


diiringi tabuhan galon air mineral .. dung! dung! dung!






Selamat merayakan Hari Raya Imlek,
bagi yang merayakannya.